NAMANYA semakin tersohor semenjak menjadi imam shalat jum’at, 18 Maret 2004. Kenekatannya melakukan hal yang sejak 1.400 tahun lalu tidak dilakukan oleh umat muslim membuat namanya menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Bagi para feminis dan kaum Islam modernis, nama Amina Wadud Muhsin sudah tidak asing lagi. Namanya kerap disejajarkan dengan pegiat kesetaraan gender lainnya seperti Fatima Mernissi atau Rifat Hassan.
DR Wadud, begitu orang-orang memanggilnya, adalah seorang profesor studi Islam padaDepartment of Philosophy and Religious Studies di Virginia Commonwealth University. Selain pernah tinggal di Libya, ia juga pernah mengenyam pendidikan dalam bidang tafsir di Al Azhar University, Kairo Mesir.
Ia dikenal sebagai salah seorang feminis muslim yang getol menyuarakan kesetaraan gender, termasuk dalam bidang ibadah. Penulis buku Qur’an and Women : Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective ini berpendapat bahwa dari sisi ibadahlah kesetaraan kedudukan antara pria dan wanita mulai dibedakan. Padahal menurutnya ajaran Islam sesungguhnya memberikan posisi yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Wadud beranggapan bahwa perbedaan itu muncul karena pengaruh budaya patriarki (pandangan yang “memenangkan” laki-laki) yang berkembang di kalangan para mufassir (ahli tafsir). Selama berabad-abad posisi mufassir didominasi kaum laki-laki. Akibatnya unsur subjektivitas sangat kental mempengaruhi penafsiran terhadap ayat-ayat Qur’an dan hadist. Pengalaman laki-laki kemudian dipaksakan untuk memahami hal-hal yang berkait dengan perempuan. Inilah sedikit dari banyak hal yang ditentangnya.
Menurutnya, dominasi kaum laki-laki ini telah membuat perempuan menjadi warga kelas dua. Untuk beribadah pun perempuan harus dipisahkan dari laki-laki, perempuan tidak boleh masuk ke masjid melalui pintu utama dan harus berada jauh di belakang barisan kaum laki-laki. Bentuk ketidakadilan seperti ini juga yang menurut Amina Wadud perlu digugat.
Memang perlakuan tidak adil inilah yang sering dialami oleh Amina Wadud. Sebagai seorang perempuan berkulit hitam (Afro-Amerika), ia sering diperlakukan secara diskriminatif. Dalam sebuah diskusi di Noor Cultural Center, Toronto-Kanada, Amina Wadud yang tampil tanpa hijab (jilbab) ini mengungkapkan, “Biasanya saya menggunakan hijab, dan ketika saya memakainya, sebagian besar Muslim tak menyangka saya adalah Afro-Amerika, saya dikira berasal dari Asia Tenggara.”
Ia menambahkan, “Namun ketika mereka melihat saya tanpa tutup kepala, mereka dapat melihat tampang Afrika saya dan mereka tahu bahwa saya adalah orang kulit hitam dan kemudian sikap mereka berubah. Faktanya saya adalah seorang nigeria dan Anda hanya akan menilainya dari warna kulit saya.”
Sikap diskriminatif yang dialaminya, semakin memperteguh sikapnya untuk menunjukkan kesetaraan, meruntuhkan batas-batas yang sebelumnya ada. Putri seorang pendeta Kristen ini menentang perspektif partriaki dalam penafsiran Al Qur’an yang menurutnya telah menyebabkan perempuan menjadi warga kelas dua. Untuk itu, ia mengusulkan empat cara dalam melihat ayat-ayat Al Qur’an. Pertama, membaca ayat-ayat Al Qur’an sesuai pengertian dasarnya. Kedua, memahami pendapat-pendapat mengenai bagaimana ayat-ayat tersebut diterapkan. Ketiga, menginterpretasikan kembali berdasarkan perspektif alternatif, dan keempat, berkata tidak pada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Sehingga dengan demikian akan muncul pandangan kritis tidak hanya didasarkan hanya pada penafsiran yang sudah ada.
Wadud mencontohkan dengan penolakannya pada ayat-ayat Al Qur’an yang berisi hukuman potong tangan bagi yang terbukti mencuri, juga terhadap ayat yang membolehkan memukul istri. Ia mengatakan bahwa hal tersebut adalah subjek yang sangat sulit untuk dibahas, namun tidak jujur menurutnya, jika ketidaksetujuan itu tidak diungkapkan. Ia mengatakan, “Inilah Al Qur’an yang memberikan penjelasan kepadaku untuk mengatakan tidak terhadap Qur’an.”
Sesaat sebelum melaksanakan shalat Jum’at yang penuh kontroversi itu, ia mengatakan bahwa isu kesetaraan gender adalah sesuatu yang sangat penting dalam Islam, sayangnya kaum muslim telah dipengaruhi penafsiran yang sangat terbatas yang menyebabkannya mengalami kemunduran. Ia juga menambahkan bahwa apa yang dilakukannya (menjadi Imam dan khatib shalat Jum’at) hanya simbolisasi dari berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan dalam Islam.
Pendiri kelompok wanita Muslim Women’s Tour, Asra Q Nomani, gebrakan yang dilakukan oleh Amina Wadud ini akan menyadarkan masyarakat terhadap kondisi ketidaksetaraan gender yang selama ini terjadi. Ketidasetaraan gender itu menurutnya tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari umat muslim, tapi hal itu juga terjadi pada aspek spiritual. Menurut Nomani, yang menjadi panitia penyelengara Shalat Jum’at yang diimami Amina Wadud ini, ia dan Wadud akan memperjuangkan hak mereka sebagai muslimah dalam Islam. “Suatu hari nanti, kami akan menjadi pemimpin dunia Islam,” tegasnya.
Dengan pemikirannya, itu tampaknya jelas sudah kalau Amina Wadud merupakan sebuah potret wanita modern yang sudah kebablasan. []