Anak-anak umumnya akan merasa malu jika dituduh melakukan kesalahan, meskipun pada faktanya hal itu benar dilakukannya. Kondisi ini, memberikan gambaran bahwa kecenderungan terhadap agama mulai lebih mendalam pada usia delapan tahun.
Pada usia itu anak sangat menyenangi acara keagamaan dan lebih berusaha untuk senantiasa menyenangkan Tuhan dengan ibadah dan ketaatan dalam beragama. Ini dilakukannya sebagai usaha memperoleh ridha Tuhan yang maknanya disesuaikannya dengan penjelasan yang diperolehnya dari orang tua dan gurunya.
Akan tetapi, perbuatannya itu semua tidaklah semata-mata dari lubuk hatinya saja, ia memerlukan motivasi dan motivasi itulah yang lebih besar mempengaruhinya. Anak mengharapkan adanya imbalan bagi semua aktivitas yang dilakukannya, ini merupakan salah satu sifat egois anak. Imbalan yang diharapkan anak tidak saja berasal dari orang tua dan gurunya, tetapi juga ia mengharapkan imbalan dari Tuhan dalam bentuk yang nyata. Misalnya, jika mereka melakukan kesalahan, anak berharap agar Tuhan melindungi dirinya, agar tidak dihukum oleh orang tua atau gurunya.
Salah satu bentuk peribadatan yang paling sering diajarkan dan dikerjakan oleh anak adalah berdoa. Memang pada usia ini, ketergantungan anak sangatlah besar, sehingga permintaan dan pertolongan sangat mewarnai kehidupannya. Sebab itu, doa dianggap menjadi sarana paling efektif untuk memenuhi tuntutan dan keinginannya. Satu hal yang paling jelas, kebanyakan permintaannya berbentuk konkrit dan dapat dirasakan secara nyata, seperti kekayaan, kesehatan, pakaian, dan sejenisnya.
Perlu mendapat perhatian, banyak anak berdoa, dan membandingkannya dengan tindakan orang tuanya. Di sekolah, melalui penjelasan gurunya, anak mengetahui bahwa Tuhan adalah Wujud yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang senantiasa mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya.
Di beberapa kalangan, orang tua selalu menghambat dan tidak memenuhi keinginan anaknya, karena itu, anak mengarahkan dirinya kepada Tuhan yang diketahuinya sangat pengasih. Akan tetapi, karena permintaan anak umumnya bersifat konkrit dan ingin segera, seperti kekayaan, mainan atau makanan, maka mustahil pula dikabulkan Tuhan secara langsung.
Hal ini berdampak, pada pandangan anak, ternyata Tuhan juga seperti orang tuanya, pelit dan tidak memperhatikan keinginannya. Kondisi ini akan membekas dalam diri anak, dan selalu dikenangnya hingga dapat menjauhkan anak dari kesadaran beragama. [Sumber: liputanislam]
HABIS