Oleh: Dede Ahmad Permana
Di antara negara-negara Arab—bahkan negara Muslim, Tunisia barangkali negara yang paling “memanjakan” kaum wanitanya. Terutama masa pemerintahan Borguiba (1956-1987) dan Ben Ali (1987-2011).
1. Wanita boleh—bahkan didorong—bekerja di hampir seluruh sektor kehidupan. Tak terkecuali tukang listrik, sopir/kondektur bis, montir, hingga pemain sepakbola. (Sekedar contoh ringan : seluruh sopir dan kondektur bis “Ben Zuhr” grup, adalah wanita). Tahun 2007-2008, dari total 10 juta penduduk, wanita bekerja ada 1,5 juta, pria hanya 0,5 juta.
2. Wanita diberi keistimewaan dalam keluarga (berdasarkan UU Keluarga tahun 1956). Di antaranya : (a) gadis di atas 18 tahun tdk boleh dipaksa nikah oleh wali tanpa prsetujuannya, (b) talak bukan wewenang mutlak suami, melainkan harus atas persetujuan isteri, dan hanya boleh terjadi di depan hakim, (c) isteri tdk boleh dimadu (artinya : poligami itu dilarang).
Pasca Revolusi 2011 yang meruntuhkan rezim otoriter, kondisi berubah drastis.
1. Jumlah wanita bekerja menurun, terutama pada sektor-sektor yang “sepantasnya” untuk kaum pria. Banyak wanita bekerja yang berhenti atas kesadaran sendiri. (Awak bis Ben Zuhr sekarang, dominasi pria).
2. Sejumlah pasal dalam UU Keluarga 1956 terus digugat, termasuk pasal pelarangan poligami. Kata para penggugat, pelarangan poligami selama ini justru terbukti mendorong tingginya perselingkuhan para suami.
3. “Berbagai keistimewaan yang diberikan kepada kami selama ini, terbukti tidak membuat kami menjadi lebih mulia daripada kaum wanita di negara-negara Arab lain”, demikian pengakuan sekelompok wanita Tunis, dalam forum Women’s Day belum lama ini. []