Tentu suami Ummi atau kerabat lak-laki Anda yang belum menikah tengah sibuk mencari-cari masjid untuk itikaf. Memang, di antara sunnah Rasulullah saw yang selalu dilakukan pada paruh terakhir bulan Ramadhan adalah i’tikaf. Secara bahasa i’tikaf berarti menetapi sesuatu dan menahan diri agar senantiasa tetap berada padanya, baik berupa kebaikan maupun keburukan. Allah berfirman, (yang artinya):
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang beri’tikaf (menyembah) berhala mereka,…” (QS al-A’raf : 138).
Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetapnya seorang Muslim dalam masjid untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Para ulama sepakat, hukum i’tikaf adalah sunnah.
I’tikaf hukumnya sunnah kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya. Maka jadinya wajib. Hal ini dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Disebutkan, Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan i’tikaf sejak tinggal di Madinah hingga akhir hayat beliau saw.
I’tikaf disunnahkan kapan saja. Namun, yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, “Bahwasanya Nabi saw selalu beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau,” (HR Bukhari dan Muslim).
Disunnahkan bagi mereka yang beri’tikaf supaya memanfaatkan waktu sebaikbaiknya untuk berdzikir, membaca alQur’an, mengerjakan shalat sunnah, serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga memperbanyak merenungkan hakikat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.
Orang yang beri’tikaf dianjurkan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf bertujuan untuk mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak disunnahkan.
Ada sebagian yang beri’tikaf, namun meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena sungguh tidak pantas seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah.
Orang yang beri’tikaf dibolehkan meninggalkan tempat i’tikafnya jika memang ada hal-hal yang sangat mendesak. Di antaranya, buang hajat yaitu keluar ke WC untuk buang air, mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan, dan pergi untuk berobat jika sakit.
I’tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul saw dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah. Manfaat lain i’tikaf adalah untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok. I’tikaf juga mendatangkan ketenangan, ketentraman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.
I’tikaf mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah. Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayangNya. I’tikaf merupakan sarana kita mendekatkan diri pada Allah dengan merangkai sehimpun ibadah. Jangan sampai ketika Ramadhan berpamit kita justru sedang asyik dengan segala aktivitas dunia yang melalaikan dan melupakan. [Sumber: madinatulilmi]