in

Sekeluarga Terkena Kelumpuhan

 

himah-sekeluarga lum puhSungguh berat beban hidup yang harus dipikul oleh Mak Atikah, 70 tahun. Dalam usia sesenja itu, ia masih menjalani ujian yang luar biasa besar. Betapa tidak? Seluruh keluarganya, mulai dari suaminya, sampai keempat anak-anaknya terserang lumpuh.

Mulanya adalah anak pertamanya, Entang—kini berusia 5o tahun—terserang panas pada waktu berumur 10 tahun. Waktu itu tahun 1967. Karena tinggal di pesesaan yang cukup terpencil, dan tabiat penduduk desa umumnya, Mak Atikah membiarkan saja. Ia dan suaminya, Pak Didin (75) mengira kalau panas itu hanya sakit biasa. Tapi beberapa waktu kemudian, sakit panas Entang  makin menghebat. Karena keluarga ini juga merupakan keluarga yang kurang mampu, tidak juga dibawa ke klinik ataupun rumah sakit. Berikutnya, Entang tidak bisa menggerakkan kakinya. Berikutnya lagi, Entang kecil pun mengalami kelumpuhan. Sejak saat itu, ia tidak lagi bisa menikmati masa kecilnya.  Mak Atik hanya pasrah. Ia tidak tahu harus bagaimana, karena terbatasnya kemampuan keluarganya. Untuk kebutuhan sehari-hari saja, mereka menggantungkan hidup dari buburuh ngored (menyiangi rumput) di kebun milik AURI, yang letaknya memang tidak jauh dari desanya.

Tapi Mak Atikah makin terhenyak.  Satu per satu, anak-anak Mak Atikah mengalami nasib serupa seperti Entang. Dede (sekarang 49 tahun), Encang (47) dan Enceng (46) terserang lumpuh juga. Semuanya pada usia sekolah SD yang jarak waktunya tidak terlalu berjauhan. Usut punya usut, anak-anak yang tinggal di Desa Cileunca, Kecamatan Bojong, Purwakarta itu terserang penyakit Folio. Sehari-hari, otomatis sejak masih kanak-kanak sekali, keempat bersaudara itu tinggal di rumah saja dan selama hampir 50 tahun benar-benar hanya diurus oleh ibunya.

Ternyata, ujian belum cukup sampai di situ. Suami Mak Atikah pun juga terserang lumpuh karena sebab lain. Sepuluh tahun yang lalu, ketika tengah ngored dan memanggul beban berat, Pak Didin terjatuh. Ia tidak bisa bangun lagi. Orang-orang desa menggotongnya ke rumah.  Sejak saat itu, sama dengan empat orang anaknya, Pak Didin hanya bisa terbujur di pembaringan saja. Pada Mei 2008, Allah swt memanggil Pak Didin ke haribaanNya.

Otomatis, beban keluarga tertumpu pada Mak Atikah seorang. Setiap hari, sebelum berangkat buburuh ngored, Mak Atikah memenuhi semua kebutuhan suami dan keempat anaknya. Sekitar menjelang tengah hari, ia pulang. Namun, dari keempat anaknya, hanya yang bungsu, Enceng  yang bisa menggunakan kursi roda. Dan sudah sejak 10 tahun ini, Mak Atikah dibantu oleh keponakannya.

Pernah suatu kali Mak Atikah membawa salah satu anaknya ke klinik terdekat berharap ada perhatian pengobatan. Namun, dikarenakan jarak yang cukup jauh, dan biaya yang mahal, pengobatan ini berhenti begitu saja. Apa dari pemerintah setempat ada perhatian? Sama sekali tidak ada. “Saya hanya takut, saya tidak kuat menanggung beban ini lagi, di suatu waktu….” ujar Mak Atikah terbata-bata. Perasaan Mak Atikah bisa dipahami, karena puluhan tahun sudah menjalani ujian itu.

Baru beberapa tahun ini kemudian ada bantuan dari beberapa orang yang mengetahui keadaan Mak Atikah. Tapi kebanyakan berasal dari luar Purwakarta, seperti dari Jakarta. Salah seorang kaya dari ibukota rutin memberikan bantuan kepada Mak Atikah dan keluarganya, walaupun tidak besar. Ada juga yang memberinya modal untuk dijadikan usaha di rumah agar Mak Atikah tidak usah lagi buburuh ngored.

Sekarang, Mak Atikah hanya menjalani ujian mahaberat itu. Mungkin di antara kita yang terketuk hati untuk sekadar meringankan bebannya.  [sa/rki]

What do you think?

Written by

Writer di Rumah Keluarga Indonesia

Si Gila Pesta & Seks Itu Masuk Islam

Adab Membaca Al-Qur’an